Wednesday, April 28, 2010

Pertajam Penglihatan dengan Teh Hijau

 

By Pipiet Tri Noorastuti, Fadila Fikriani Armadita -    Senin, 26 April 2010

VIVAnews- Teh hijau memang memiliki sejuta manfaat. Sifat antioksidannya, tak hanya bermanfaat bagi kecantikan, tapi juga kesehatan tubuh. Teh hijau juga bermanfaat untuk kesehatan mata.

Seperti dikutip dari laman Telegraph, teh hijau dapat melindungi mata dari serangan glaukoma atau penyakit mata lain. Organ-organ mata seperti lensa, retina, dan jaringan mata lain memiliki kemampuan yang baik menyerap nutrisi baik yang terkandung dalam teh hijau.

Hasil studi yang dipublikasikan di Journal of Agricultural and Food Chemistry, mengungkap kandungan catechin, satu jenis antioksidan dalam teh hijau. Salah satu peneliti, Chi Pang Pui, mengatakan, Catechin mengandung vitamin C, E, lutein, dan zeaxanthin, yang bermanfaat untuk penglihatan.

Para peneliti yang dari University of Hong Kong and Hong Kong Eye Hospita itu melakukan ujicoba terhadap sejumlah tikus. Hasilnya, asupan teh hijau meningkatkan ketajaman penglihatan binatang pengerat. "Kami berkesimpulan, konsumsi teh hijau bermanfaat untuk melawan gangguan stres pada mata." (hs)

Friday, April 23, 2010

Limbah Teh Hitam Kurangi Gas Metan pada Peternakan Sapi

Yogyakarta …….Berkat  inovasinya memanfaatkan  limbah  teh  hitam untuk mengurangi  produksi  gas  metan pada  peternakan sapi . Dewi  Ratih Ayu  Daning  , mahasiswa  Fakultas Peternakan Universitas  Gajah Mada  (UGM) , terpilih untuk  mengikuti  kompetisi  dunia ,Simposium  Nutrisi  dan  Kesehatan  Binatang  Internasional Altech ke- 26, di Kentuky ,Amerika  Serikat  , 16-19  Mei 2010.

Mahasiswa  angkatan  2006 itu  terpilih  sebagai  pemenang  pertama  untuk  kawasan  Asia Pasific  melalui serangkaian  penelitian  yang  tertuang  dalam  makalah  ilmiah berjudul   “Limbah  Teh  Hitam   (Bohea Bulu) Sebagai  Agen  Defaunasi  terhadap  Reduksi  Gas  Metan  pada  Fermentasi  Ruman  dalam  Mendukung  Peternakan  Ramah  Lingkungan “.  Menyisihkan  1.000  peserta  lain , Daning  berhak  maju  ke kompetisi  ilmuan  muda  tingkat  dunia  yang  sudah  berlangsung  untuk  yang  26 kalinya  ini.                

Sebagai  mahasiswa  peternakan  , Daning  ,mengaku  gelisa  karena  industri  Rumen (peternakan  sapi  perah  dan  potong ) menyumbang  sekitar  2 persen  gas  metan  didunia. Gas  metan  adalah  salah  satu  penyumbang  kerusakan  lapisan  ozon  yang  menjadi  penyebab  pemanasan  global.  “ Sebagai  mahasiswa  Fakultas  Peternakan  Jurusan  Nutrisi  , saya  berfikir  bagaimana  mengurangi  produksi  gas  metan  melalui  asupan  makanan   sapi”.  kata  Daning

Daning  mencoba  memanfaatkan  limbah  teh  hitam  dari  pusat  penelitian  teh  dan  kina  Bambung  di Ciwedey  , Bandung. Selama  ini  limbah  teh  hitam  itu  hanya  dimanfaatkan  pupuk.   “Saya  manfaatkan  sebagai  pakan , sehingga  punya  nilai  lebih. “ katanya .

Limbah  Teh  Hitam  itu  dicampur dengan  dedak  halus  dan  cacahan  rumput  raja   sebagai  ransum  makanan  sapi  . Hasilnya  , produksi  gas  metan  turun  hingga  40  persen  dibanding  ransum  pakan  sapi  tanpa  dicampur  dengan  limbah teh  hitam .  Menurut  Daning  limbah  teh  hitam  mampu  menekan  jumlah  mikroba  yang  memproduksi  gas  metan . Itu sebabnya  produksi  gas  metan  menjadi  berkurang  .  Sayangnya  , penelitian  ini  masih  sebatas  dilaboratorium. “Belum  dicobakan  langsung  pada  hewan “. katanya  . [ heru cn]   .

Monday, April 19, 2010

Rusnandi Garsadi TU DEFT

GRADIENT VELOCITY PADA SISTEM MICRO HYDRAULIC FLOCCULATION DIKAJI MELALUI MODEL PILOT WATER TREATMENT PLANT DAN MODEL COMPUTER FLUID DINAMIC (CFD) MENGGUNAKAN AIR BAKU KANAL TU DELFT

GRADIENT VELOCITY IN MICRO HYDRAULIC FLOCCULATION SYSTEM, ANALYZED WITH PILOT WATER TREATMENT PLANT AND COMPUTER FLUID DYNAMIC (CFD) MODELS, USING TU DELFT'S RAW CANAL WATER
PhD Theses from JBPTITBPP / 2009-05-14 15:39:47
Oleh : RUSNANDI GARSADI (NIM: 35003203), S3 - Engineering Sciences
Dibuat : 2008, dengan 13 file

Keyword : Gradient velocity(G), koagulasi, flokulasi, water treatment, koloid, koagulant, aggregasi, floc, break-up, laminar, model pilot plant, baffled, micro hydraulic, waktu detensi(Td), turbidity, acoustic doppler velocimetri (ADV), computer fluid dynamics (CFD)

Water Treatment Plant (WTP) konvensional merupakan instalasi pengolahan air yang menggunakan sistem koagulasi, flokulasi, sedimentasi, filtrasi dan disinfeksi melalui proses pembubuhan koagulant pada air baku tawar dengan polutan koloidal. WTP konvensional sampai saat ini merupakan sistem yang paling banyak dipergunakan, baik di Indonesia maupun di dunia. Di Indonesia dari kapasitas terpasang sistem air bersih 110.000 liter/detik, 80.000 liter/detik dari keseruhan kapasitas tersebut masih menggunakan WTP konvensional.

Permasalahan yang dijumpai pada WTP konvensional di Indonesia ialah bahwa umumnya WTP hanya dapat mengolah air bersih antara 65-70% dari sistem kapasitas disain. Hal ini terlihat dari hasil flokulasi dimana pembentukan floc tidak optimal dan tingkat kekeruhan dari hasil pengendapan sedimentasi masih tinggi. Waktu detensi sistem flokulasi WTP konvensional yang pada umumnya berdasarkan kriteria disain antara 20-30 menit. Sedangkan bila uji pengolahan air baku dilakukan dengan menggunakan jar test, floc optimal dapat dihasilkan dengan waktu detensi antara 5-10 menit. Perbedaan waktu detensi tersebut perlu menjadi perhatian agar dapat dilakukan penelitian lebih lanjut.

Proses koagulasi merupakan pencampuran cepat antara air baku koloidal dengan koagulan (Alum, Ferry chloride, PAC), yang merupakan proses destabilisasi dari gerak brownian partikel koloidal. Sedangkan proses flokulasi merupakan proses lanjutan dari proses koagulasi dimana partikel koloid(-) dan koagulan(+) saling mendekat dan menempel (forming a chemical bond), selanjutnya membentuk kumpulan floc yang semakin membesar, menggumpal atau agregasi antara partikel mikro floc dengan partikel koloid, dan dengan sesama partikel floc. Pada proses flokulasi dimana agregasi partikel koloidal terbentuk menjadi floc optimum, hal ini dipengaruhi oleh gerak brownian, kecepatan aliran (gradient velocity G) dan break-up.

Proses flokulasi merupakan inti, dari serangkaian tahapan proses pengolahan air pada suatu WTP konvensional, dimana bila pembentukan floc optimal, yaitu bila seluruh partikel koloid akan menggumpal sempurna membentuk floc yang padat dan cepat mengendap, sehingga efluent dari sistem clarifier atau sistem sedimentasi menghasilkan tingkat kekeruhan yang rendah. Dengan demikian clogging yang terjadi dan run time sistem kerja filter menjadi lebih panjang. disamping hal tersebut waktu pencucian media filter atau back wash akan menjadi lebih pendek.

Micro hydraulic flokulasi merupakan proses flokulasi dimana hidrodinamika kecepatan aliran ditinjau dalam tiga dimensi. Kecepatan aliran merupakan parameter utama yang menentukan besaran gradient velocity untuk menghasilkan pembentukan floc yang optimum. Teori dan formulasi gradient velocity (G) mengacu pada hasil penelitian von Smoluchowski (1917) dan (Camp-Stein, 1943), yaitu peneliti-peneliti yang pertama kali merumuskan proses koagulasi dan flokulasi, yang banyak dipakai sebagai acuan sampai saat ini. Kajian gradient velocity pada proses flokulasi, dilakukan melalui model fisik (reaktor pilot plant) dan model matematika computer fluid dynamicss (CFD-Fluent). Eksperimen proses flokulasi melalui reaktor pilot plant dilakukan melalui debit dan dosis optimum.

Sistem aliran reaktor flokulasi mengunakan aliran tangensial dengan aliran naik atau turun yang dilengkapi pengarah aliran baffle secara bertingkat. Pengukurun langsung kecepatan aliran tiga dimensi pada tabung reaktor vertikal, dengan menggunakan Acoustic Doppler Velocitymeter (ADV-Nortek) merupakan hal yang baru dengan tingkat kesulitan tinggi. Pengukuran ini menggunakan tabung reaktor berdiameter 200 mm dan tinggi 3.4 m, yang memerlukan teknik dan peralatan khusus untuk mengukur kecepatan aliran. Laser Doppler Velocitymeter (LDV) tidak dapat dipergunakan dalam pengukuran tersebut, karena permukaan tabung tidak rata. Demikian juga halnya dengan current meter tidak dapat dipergunakan, karena akan mengganggu aliran dan dimensi alat tersebut.

Penelitian dilakukan melalui percobaan menggunakan reaktor pilot plant flokulasi, yang dibuat khusus di laboratorium Water Technology, Delft University of Technology, the Netherlands. Kajian sistem flokulasi tersebut menggunakan sumber air baku Kanal Delft. Kondisi kekeruhan air baku antara 100-300 NTU, pH antara 7-8, temperatur minimum 6 oCelsius. Pengukuran kecepatan aliran dilakukan pada debit 500 liter/jam dan terjadinya pembentukan floc optimum. Titik pengukuran dilakukan pada tiga lokasi plan cut, yaitu pada elevasi +30 cm, +110 cm, dan +180 cm dari dasar tabung. Pada setiap plane cut dibuat grid titik pengukuran dengan selang 20 mm. Plane cut 1 pada proses terjadinya koagulasi dengan Td = 0.85 menit. Plane cut 2 pada proses awal pembentukan floc dengan Td = 0.34 menit. Plane cut 3 pada proses pembentukan floc dengan Td = 3.12 menit. Efluent reaktor flokulasi pada Td= 8.1 menit.

Verifikasi kecepatan aliran hasil model CFD dilakukan melalui perbandingan profil kecepatan dari hasil pengukuran ADV dan CFD pada tiga plane cut yang setara. Hubungan gradient velocity terhadap Td diperoleh dari kecepatan aliran hasil pengukuran ADV dan CFD. Hasil pola grafik hubungan antara gradient velocity dan Td menunjukkan bahwa pada kondisi sub-tropis grafik eksponensial menurun lebih curam dan Td lebih panjang, sedangkan pada kondisi tropis grafik lebih landai dan Td lebih pendek. Proses flokulasi optimum terjadi pada aliran laminer dengan bilangan Reynolds antara 200-2000. Karakteristika profil kecepatan aliran pada pembentukan floc optimum dapat diketahui, yang digambarkan melalui hubungan G dan Td. Sistem micro hydraulic flokulasi optimum dengan Td 8-10 menit, dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan kapasitas sistem WTP yang ada, dan mini reaktor koagulasi dan flokulasi dapat dipertimbangkan sebagai pengganti fungsi alat jar test dan dapat dikaji dalam penelitian selanjutnya.


Deskripsi Alternatif :

Conventional Water Treatment Plant (WTP) is a water treatment installation which uses coagulation, flocculation, sedimentation, filtration and disinfection systems by the process of adding coagulant to plain raw water containing colloidal pollutant. Up till now conventional WTP is still the most widely used system in Indonesia and abroad. In Indonesia, out of the capacity of installed clean water system of 110.000 liter/second, as much as 80.000 liter/second still use conventional WTP. The problem found in conventional WTP in Indonesia is, generally the WTP is only capable to do clean water processing up to 65-70% out of the designed system capacity. This can be seen from the flocculation result in which the floc formation is not optimum and the degree of turbidity of the resulting sedimentation precipetate is still high. The detention time of the flocculation system in a conventional WTP is generally 20-30 minutes, based on its design criteria. But if raw water treatment analysis is done by using jar test, the optimum floc formation can be produced with the detention time of 5-10 minutes. The difference of these detention times should be considered for implementing a further study.

Coagulation process is a quick mixing of colloidal raw water with coagulants such as Alum, Ferric Chloride or PAC, which is a process of destabilization of the colloidal particles' Brownian motion. Flocculation process is continuation of the coagulation process, in which the colloidal particle (-) and coagulant (+) come together and stick to each other (forming a chemical bond). Further on, they form floc masses which grow bigger, coagulate or form an aggregation between the micro floc particles and the colloidal particles, and with mutual floc particles. In the flocculation process where the aggregated colloidal particles grow into flocs, it is influenced by Brownian motion, gradient velocity (G) and breakup.

The flocculation process is the core of a series of steps in water treatment process using a conventional WTP, this is the process when the floc formation reaches its optimum, i.e. when all of the colloidal particles completely coagulate to form solid flocs which precipitated rapidly, so the effluent of the clarifier or sedimentation systems will produce a low turbidity degree. In this way the resulted clogging and run time of the filter working system become longer. Besides, the filter medium washing time or back wash will be shorter. Micro hydraulic flocculation is a flocculation process in which the hydrodynamics of the flow velocity is observed in three dimensions. Flow velocity is the main parameter which determines the measure of gradient velocity to produce optimum floc formation. The theory and formulation of gradient velocity (G) are referred from the research results of Smoluchowski, (1917) and (Camp-Stein, 1943), they were the first researchers who formulated the coagulation and flocculation processes, which have been widely used as a reference up till now. The analysis of gradient velocity in flocculation process has been done with a physical model (a pilot plant reactor) and a mathematical model of computer fluid dynamics (CFD-Fluent). The flocculation process experiment was done through the pilot plant reactor with optimum debit and dosages.

The flocculation reactor system used was a tangential flow with upward or downward flows which were equipped with a graded flow driver. Direct measurement of the three-dimensional flow velocity in the vertical reactor tube, using Acoustic Doppler Velocitymeter (ADV-Nortek) was a new method with a high level of difficulty. This measurement was done by using a reactor tube 200 mm in diameter and 3.4 m high, which required special techniques and means for measuring the flow velocity. Laser Doppler Velocitymeter (LDV) could not be used in the measurement, because the tube's surface was not smooth. A current meter could not be used either, because it would hinder the flow and dimension of the apparatus.

The research was done by experimenting with a flocculation pilot plant reactor, which was specially designed at the Water Technology Laboratory, Delft University of Technology, the Netherlands. Analysis of the flocculation system was done by using raw water from the TU Delft's canal. The raw water's turbidity condition was between 100-300 NTU, pH between 7-8, the minimum temperature was 6 oC. Measurement of the flow velocity was done at the optimum debit of 500 L/hour at the location of floc formation. Measurement points were taken at three plane cut locations, they were +30 cm, +110 cm, and +180 cm from the base of the tube. Measurement point grids were made on every plane cut at 20 mm intervals: plane cut 1 at the process of coagulation with Td = 0.85 minutes; plane cut 2 at the early process of floc formation with Td = 0.34 minutes; and plane cut 3 at the floc formation process with Td = 3.12 minutes. The flocculation reactor effluent was reached at Td= 8.1 minutes.

The verification of flow velocity as the result of the CFD model was done by comparing the velocity profile of the ADV and CFD measurement results at the three equal plane cuts. The relation between the gradient velocity v.s Td was obtained from the flow velocity measurement results by using ADV and CFD. The resulting graph pattern of the relation between the gradient velocity v.s Td showed that at sub-tropical condition the exponential graph had a sharper decrease and the Td was longer, while at tropical condition the graph was more sloped and the. Td was shorter. The optimum flocculation process was observed at the laminary flow with Reynolds number between 200-2000. By this method, the flow velocity profile characteristic of optimum floc formation could be obtained, it was plotted as a relationship between G v.s Td. The micro hydraulic flocculation system worked optimally at Td 8-10 minutes. This result can be put into consideration for increasing the capacity of existing WTPs, and the mini coagulation and flocculation reactors can be put into consideration to replace the function of jar test apparatus and will be able to be analyzed in further research.

Copyrights : Copyright Â(c) 2001 by ITB Central Library. Verbatim copying and distribution of this entire article is permitted by author in any medium, provided this notice is preserved.
http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-rusnandiga-32892

Tuesday, April 6, 2010

Akibat Dahsyat dari Global Warming

 

Posted on November 12, 2009 by samudro

global-warming
Dunia saat ini dihantui oleh isu global warming yang dalam waktu tidak lebih dari seabad akan menunjukkan akibatnya dan berpotensi memporak-porandakan peradaban manusia. Bencana-bencana yang dipicu karena ketidakstabilan iklim mulai banyak menelan korban yang tidak sedikit. Meski hanya berupa studi-studi atau prediksi-prediksi, ada baiknya kita mewaspadai peringatan ini.

Pemanasan global disebabkan oleh banyak hal, dan sampai saat ini faktor-faktor dominan penyebab pemanasan global masih diperdebatkan. Tapi yang jelas bumi lebih hangat 0.5 – 0.6 0C dari rata-rata suhu bumi 100 tahun terakhir.

Bulan januari tahun 2007 menjadi bulan januari terhangat sepanjang 100 tahun ini, dimana suhu rata2 bulan januari 2007 0.85 0C lebih tinggi dari suhu rata2 bumi bulan januari yaitu 12 0C. Dan diperkirakan tahun 2007 ini akan menjadi tahun terpanas sepanjang 100 terakhir diamana akan meningkat 0.54 0C dari suhu rata2 tahunan sebesar 14 0C. Tahun terpanas selama ini jatuh pada tahun 1998 yaitu 0.52 0C lebih panas dari suhu rata2 tahunan. dibelahan bumi bagian utara yaitu eropa timur dan rusia kenaikan suhu bulan januari adalah 4 0C dan Kanada 2.5 0C dari suhu rata2 tahunan.

Tahun 2006 sendiri merupakan tahun terpanas ke-6 selama 100 tahun ini, yaitu naik 0.42 0C dari suhu rata2 tahunan. Sedangkan kantor meteorologi Inggris menyebutkan bahwa tahun 2006 merupakan tahun terpanas di Inggris. 10 tahun terhangat pada abad 20 ini terjadi setelah tahun 1980 dan 3 tahun terhangat terjadi setelah tahun 1990.

1. Great Barrier Reef Lenyap dalam 20 Tahun
1-great-barrier-gone
Naiknya air laut akibat pemanasan global dalam 20 tahun akan menenggelamkan gugusan karang ajaib ini. Charlie, mantan kepala peneliti di Australian Institute of Marine Science mengatakan pada The Times: “Tidak ada harapan, Great Barrier akan lenyap 20 tahun lagi atau lebih. Sekali karbon dioksida (CO2) menyentuh level seperti yang diprediksi antara tahun 2030 dan 2060, seluruh karang akan lenyap. Hal ini didukung para peneliti karang dan juga semua organisasi terkait lainnya. Ini sudah kritis dan beginilah kenyataanya.”

2. Hutan Amazon Akan Berubah Menjadi Gurun
2-amazon-desert
Memiliki jutaan spesies dan cadangan 1/5 air bersih dunia, hutan Amazon merupakan hutan hujan tropis terbesar di dunia. Tapi pemanasan global dan penggundulan hutan membalikkan fungsi hutan sebagai penyerap karbon dan merubah 30-60 persen hutan menjadi padang rumput kering. Proyeksi-proyeksi menunjukkan hutan ini bisa lenyap menjelang tahun 2050.

3. Gurun Sahara Akan Menghijau
3-sahara
Para ilmuwan melihat tanda-tanda bahwa gurun sahara dan wilayah di sekitarnya menghijau akibat makin meningkatnya curah hujan. Hujan ini mampu merevitalisasi wilayah gersangnya sehingga menarik komunitas petani. Kecenderungan menyusutnya gurun ini dijelaskan oleh model-model iklim, yang memprediksi kembalinya ke kondisi yang merubah Sahara menjadi padang rumput subur seperti sekitar 12 ribu tahun yang lalu.

4. Angin Topan Akan Bertiup Lebih Dahsyat
4-topan katrina
Belum bisa dijelaskan apakah global warming bertanggung jawab atas terjadinya badai Katrina. Tapi ada indikasi-indikasi bahwa global warming akan menciptakan badai-badai berkategori 5 – badai Katrina sendiri berkategori 4 saat menghantam Lousiana. Kekuatan badai dimulai dari adanya air hangat dan model-model ramalan menunjukkan badai di masa depan akan menjadi lebih dahsyat seiring dengan naiknya temperatur lautan. Global warming juga membuat badai-badai itu lebih destruktif dengan naiknya permukaan laut yang memicu banjir yang lebih besar di wilayah pesisir.

5. London Tenggelam Tahun 2100
5-london-underwater2
Tidak hanya karang dan pulau-pulau landai yang terancam global warming. Faktanya sebuah ancaman besar juga menghantui wilayah kota besar di wilayah pantai yang beresiko tenggelam di bawah air akibat naiknya permukaan laut. Lusinan kota-kota dunia termasuk London dan New York bisa saja lenyap tenggelam menjelang akhir abad ini, menurut penelitian yang menyebutkan global warming akan mengakibatkan naiknya permukaan air laut lebih cepat dari yang diprediksi sebelumnya. London termasuk kota besar yang beresiko tinggi seperti digambarkan dalam sebuah film tahun 2007 berjudul “Flood”. Menurut para ahli kota ini akan tenggelam tidak sampai 100 tahun lagi.

Meksiko Nyatakan Keadaan Darurat

 

Liputan 6 - 2 jam 12 menit lalu

Liputan6.com, Meksiko City: Kota Mexicali dinyatakan sebagai daerah bencana, setelah gempa besar mengguncang wilayah tersebut pada Minggu sore [baca: Gempa 7,2 SR Guncang Perbatasan AS-Meksiko]. Gubernur Baja California, Jose Guadalupe Osuna mengatakan pada Senin (5/4) waktu setempat bahwa pemerintah akan mengevaluasi kerusakan dan akan mendeklarasikan zona bencana dalam keadaan darurat, guna memperoleh akses dana bantuan yang diberikan oleh pemerintah federal.

Pemerintah Lelang Harta Karun.

Hasil  pengangkatan  harta  karun  disekitar   Cirebon   sedianya  akan  dilelang . Pertama  kalinya  pemerintah  akan  melelang  barang  muatan  kapal  tenggelam  (BMKT). 

“Diperkirakan  hasil  lelang  akan  menambah  anggaran  pendapatan  dan belanja negara  sebesar  US  $ 100 juta  “tutur  Menteri  Kelautan  dan  Perikana  Fadel  Muhammad  dikantornya  kemarin.  Penemuan  dan  pengangkatan  barang  muatan  kapal  tenggelam  dari  perairan  Cirebon merupakan  salah  satu  penemuan  artefak  bawah  air   terbesar  didunia .

Koleksi  kapal  yang  diduga  berasal  dari  kerajaan  Sriwijaya yang  berjumal  271  ribu  keping  yang  terdiri  atas  sekitar  10  ribu  jenis  keramik,  perhiasan emas ,perak  , tembaga, terakota ,tulang  hingga  batu-batu  mulia .Sebagian  besar  keramik  berkualitas  tinggi  berasal  dari Cina  era Dinasti  Tang  (518-907 SM ) atau  dikenal  sebagai  Yue  Mise  Wares . Ada  juga  dari empat  Dinasti  lainnya, yaitu  dari  Dinasti  Liang , Jin  , Han ,dan  Zhou.  Menurut  Adi Agung, Direktur  Utama  PT  Paradigma Putra  Sejahtera  , perusahaan yang  mendapat  ijin  pengangkatan  dilaut  Jawa  bersama  COSMIX  Underwater  Research  Ltd.,barang  yang  paling  langka  dari  koleksi  keramik  adalah   cermin  tembaga,  yang  selama  ini  hanya  ada  satu  setengah  keping  . Satu  keping  di Jepang  dan  setengah  di Cina .  “ Dengan penemuan  ini  akan  menjadi,  dua  setengah  keping .” kata  Adi  . Karena  itu  pihak  Xejiang mulai  mendekati  kami.”  tuturnya  lagi. Ada  juga  24  vas  keramik  yang  hanya  tersisa  40  buah  diseluruh  dunia.  Benda  langka  lainnya  adalah  sepasang  golok  emas  yang  dulu  digunakan  pembesar  Timur  Tengah  untuk  menyimpan  kosmetik . Golok  emas  ini  dari  Dinasti  Fatimid,  yang  berkuasa  pada 909 – 1171 di Maghreb  Mesir,  Sisilia ,Malta ,dan  Levant.

Tantangan  terbesar  dari  pelelangan  selama  ini adalah  pengawasan  hasil  pengangkatan BMKT  iang  banyak  dilakukan  secara  ilegal  dan  dijual  kepasar  gelap.  “ Karena itu , saya  minta  pada  pengusaha  dan  kolektor  terbuka  dan  mengikuti  cara  legal,” kata  Fadel.    [* Aryani  Kristanti ]    

Sunday, April 4, 2010

Posisi Start Grand Prix Malaysia

 

Antara - Senin, 5 April 2010

 

Posisi Start Grand Prix Malaysia

Sepang, Malaysia (ANTARA/Reuters) - Posisi start Formula Satu Grand Prix Malaysia di Sirkuit Internasional Sepang, Minggu: 1. Mark Webber (Australia) Red Bull 2. Nico Rosberg (Jerman) Mercedes GP 3. Sebastian Vettel (Jerman) Red Bull 4. Adrian Sutil (Jerman) Force India 5. Nico Huelkenberg (Jerman) Williams 6. Robert Kubica (Polandia) Renault 7. Rubens Barrichello (Brazil) Williams 8. Michael Schumacher (Jerman) Mercedes GP 9. Kamui Kobayashi (Jepang) Sauber 10. Vitantonio Liuzzi (Italia) Force India 11. Vitaly Petrov (Rusia) Renault 12. Pedro de la Rosa (Spanyol) Sauber 13. Sebastien Buemi (Swiss) Toro Rosso 14. Jaime Alguersuari (Spanyol) Toro Rosso 15. Heikki Kovalainen (Finlandia) Lotus 16. Timo Glock (Jerman) Virgin 17. Jenson Button (Inggris Raya) McLaren 18. Jarno Trulli (Italia) Lotus 19. Fernando Alonso (Spanyol) Ferrari 20. Lewis Hamilton (Inggris Raya) McLaren 21. Felipe Massa (Brazil) Ferrari 22. Karun Chandhok (India) HRT 23. Bruno Senna (Brazil) HRT 24. Lucas Di Grassi (Brazil) Virgin