Friday, February 12, 2010

PERJALANAN MUHIBAH SANITASI PERDESAAN (bambang purwanto).

PERJALANAN MUHIBAH SANITASI PERDESAAN
DI BANGLADESH DAN INDIA

Bambang Purwanto

Pertanyaan pertama yang muncul dibenak penulis saat menerima kabar mendapat kesempatan kunjungan muhibah sanitasi ke Bangladesh dan India adalah “ada apa dengan sanitasi disana (aadsd)” dan pertanyaan ini masih terus berputar dikepala sampai pesawat SQ 436 mendarat mulus di Dhaka ibukota Bangladesh dimalam hari tanggal 29 November yang lalu. Rombongan 19 orang terdiri dari wakil Bappenas, Depdagri, Depkes, Pemda Lamongan, Bogor, Lobar, Muara Enim, Dep. PU dan Bank Dunia dengan setengah mengantuk antri di Counter Imigrasi untuk proses administrasi dan setelah beres mengurus bagasinya, diluar telah menunggu bung Fajez Khan dari WSP Bangladesh yang siap meng-guide kita, kemudian masing-masing menukar dolar bekalnya dengan Taka (mata uang Bangladesh, kurs resmi 1 US $ = 59,51 Taka), sebagaian peserta tertawa geli melihat lembaran Taka yang lusuh dan kumal bahkan ada yang robek namun diyakinkan petugas money changer semua uang tersebut dijamin halal alias laku.



Perjalanan dengan mulus menuju White Pearl Ltd Hotel di Plot 15, Road 42, Gulshan 2, Dhaka 1212, he he he biar komplit sekalian alamatnya siapa tahu nanti ada yang mau kesana, melalui proses check in yang tidak terlalu rumit semua peserta bergegas menuju kekamarnya masing-masing termasuk rombongan yang menginap di Hotel Amazon Lily yang letaknya didepan hotel kami.



Pagi hari setelah sarapan pagi ala American atau Contenental breakfest (sesuai pertanyaan petugas restoran) sekitar jam 8 pagi rombongan dibagi 2 ada yang ke Bajitpur, Khisoreganj District dan ke Khansama, Dinajpur District (rombongan penulis). Begitu bus keluar dari jalan Hotel masuk kejalan raya mulailah celoteh masing-masing peserta melihat pemandangan disepanjang jalan; melihat becak disana yang bentuknya seperti sepeda namun dibagian belakang dibuat tempat bagi penumpang dan barang, ada yang dibuat untuk angkutan anak sekolah sekitar 10 orang anak dengan jeruji besi yang membuat kita jadi geli bercampur iba, bahkan seorang peserta berujar “nanti mau saya tunjukan keanak saya, bagaimana anak sekolah di Bangladesh naik jemputannya biar nggak manja”, taksi di Dhaka yang kecil dari merk Hyundai Picanto disana Santro, banyaknya manusia yang berseliweran dijalan sampai kebiasaan membunyikan klakson yeng menjadi ciri pengemudi disana, dan yang bikin serem banyak terlihat polisi/tentara menenteng bedil (senapan laras panjang) dijalan-jalan.



Pemandangan sepanjang jalan antara Dhaka – Rangpur cukup menarik, sempat melihat ratusan ribu orang (aliran keagaman/sekte tertentu dari seluruh dunia) yang sedang berkumpul diluar kota Dhaka, ini adalah seremoni kedua terbesar bagi umat islam setelah musim haji di Mekah (diperkirakan sampai satu juta orang lebih berkumpul disana), bus terus melaju dengan cepat diselingi suara klaksonnya yang nyaring sampai ke Jamuna Bridge (jembatan kebanggaan rakyat Bangladesh) yang memungut 1.000 Taka (sekitar Rp. 150.000,-) semacam toll bridge/road jembatan ini selain dilalui mobil juga kereta api. Siang hari sampai ke Food Village di Bogra, di kota ini terkenal produksi yogurtnya yang ditempatkan disemacam tempayan kecil yang terbuat dari tanah liat yang cukup menarik kemasannya. Makan siang berupa nasi, roti (bahasa Bangladesh juga roti) dengan lauk karee ayam, karee sapi, goreng ikan salmon, dal (semacam bubur kacang ijo yang lembut berair dengan rempahnya), dan salad (berupa irisan mentimun, bawang merah besar, bawang bombai, cabe hijau dan sekerat jeruk nipis) uaaahh eunaaak tenan, dhonabad (terima kasih). Setelah perut kenyang perjalanan dilanjutkan, disepanjang jalan banyak sekali dijumpai embung (semacam kolam) untuk keperluan cuci, mandi dan minum ternak alangkah baiknya kalau di NTT dan Gunung Kidul membuat embung-embung semacam disana, sesekali dilihat ibu-ibu sedang mencetak kotoran sapi yang dijemur untuk dijadikan bahan bakar bagi kebutuhan masak didapur. Sore hari rombongan sampai di Rangpur langsung menuju Rangpur Parjatan Motel, R.K. Road, Rangpur, rate kamar 1.000 Taka/malam (ac standar).



Berhubung masih sore beberapa kawan memanfaatkan waktu untuk jalan-jalan kekota, kawan dari WSP Bangladesh cari internet, ada yang cari wartel, sandal dan penulis cari tustel kacangan sehubung tustel digitalnya ngadat kepanasan yang baru di hari ketujuh mau jalan (dapat tustel seharga 1200 Taka alias Rp. 180.000,- lengkap dengan film isi 36 dan baterainya), malam hari ada brifieng dari teman-teman Dishari Team (Dishari= Decentralized Total Sanitation Project) Bangladesh, mereka menjelaskan bagaimana mulai dari merencanakan program “dishari” yang telah berlangsung sekitar 3 tahun ini.



Rangpur merupakan “kota kesehatan” dimana terdapat 2 perguruan tinggi kedokteran yang terkenal (diantaranya adalah Rangpur Medical Colledge) dan kota ini memiliki lebih dari 200 klinik yang tersebar diseluruh kota.



Pagi hari setelah sarapan rombongan kami dengan didampingi mBak Umme Farwa Daisy (project manager dhisari), mBak Swarna Kazi (program asistant WB Bangladesh) dan mas Shafiul Azam Ahmed (WSP Bangladesh) dan mas Haider W Yaqub (Plan Bangladesh) langsung menuju bus yang telah menunggu untuk mengantarkan kami ke Desa Subarnakholi dan Khamarpara di Khansama, Dinajpur District, sebelumnya ada pertemuan singkat di kantornya Plan Bangladesh, ada yang aneh buat kita dimeja rapat disediakan tiga botol plastik berisi air, dimasing-masing botol diletakan 2 buah gelas jadi minumnya gantian gelasnya… hii kompak nih yee. Tapi saya lihat rombongan penulis nggak ada yang minum tuh, baru sore hari mau minum teh panas plus biskuit dan apel/jeruk.


SANITASI DI DESA SUBARNAKHOLI DAN KHAMARPARA

DI KHANSAMA , DINAJPUR DISTRICT, BANGLADESH.



Perubahan perilaku, turun dari bus rombongan penulis disambut penduduk desa Subarnakholi (rombongan dibagi dua mengingat lokasi yang berjauhan), baik laki-perempuan tua-muda masing-masing ingin memamerkan “wc-nya” jangan dibayangkan wc seperti dirumah anda, tapi yang namanya wc tak lebih adalah “cubluk” sederhana ada yang terbuat dari seng, digunting empat persegi digunting lagi tengahnya bagian depan untuk diatas dudukan orang buat jongkok, bagian belakang digulung dan diikat kawat kecil dan diujungnya dipasang plastik untuk menutup apabila tidak dipakai dan membuka apabila ada kotoran lewat, harganya tak lebih dari 15 Taka=Rp. 2.250 saja (harga 1 lembar seng utuh 30 Taka= Rp. 4.500, 1 lembar seng dapat dibuat 3 buah) sedangkan yang memakai plastik seharga 75 Taka=Rp. 11.250 dan yang beton lebih bagusan dikit 500 Taka= Rp. 75.000,- jadi kebayangkan bagaimana murah dan sederhananya, sedangkan dinding penutup hampir sebagian besar terbuat dari anyaman jerami (lihat photo). Pelajaran penting yang diperoleh disini adalah: ”bagaimana merubah perilaku, dari kebiasaan mereka sebelumnya buang hajat di sembarangan tempat; kebun, tanah lapang, sawah jadi membuang hajat di “wc-nya” masing-masing”.



Budaya malu, kebiasaan membuang hajat dikebun alias “dolbun” (modol dikebun/sunda, open defecation), bagi penduduk desa Subarnakholi dan Khamarpara sudah mereka lakukan turun temurun bergenerasi sebelumnya, sehingga ada pepatah kalau kita berjalan sudah mulai bau kotoran manusia berarti kita sudah mendekati perkampungan dan bau ini sudah bisa tercium pada jarak 300-an m), dengan latar belakang kebiasaan ini dimulailah babak baru bagi masyarakat kedua desa tersebut untuk menghilangkan kebiasaan dolbun tersebut. Diperlukan waktu 6 bulan untuk melakukan mobilisasi tenaga fasilitator (bung Azizul Islam) yang mendampingi kami selama kunjungan lapangan disana, bung Aziz ini dengan sepeda motornya lincah kesana kemari untuk memberikan penyuluhan, memobilisasi masa, mulai membuat peta desa (ala metoda partisipasi aktifnya pokja AMPL) dibuatlah peta desa (lihat photo) yang berisi informasi rumah-rumah penduduk mana yang sudah ada wc-nya mana yang belum (komunal). Dari hasil rembug warga disepakati setiap rumah membangun sendiri wc-nya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi yang bersangkutan ada yang sangat sederhana dengan bahan seng yang dibentuk, bahan plastik, dan campuran pasir semen. Pembangunan fisik tersebut memakan waktu sekitar 1 bulan lamanya. Bagi warga yang masih membuang hajat disembarangan tempat akan diperolok oleh warga dan anak-anak; ada patroli dolbun rame-rame dan membunyikan peluit bila melihat warga sedang dolbun, dan terdapat nyanyian, tarian, dan drama yang yang intinya “membuat malu” sehingga mereka tidak lagi membuang hajat sembarangan.



Lagu Sanitasi, salah satu upaya yang dilakukan warga dikedua desa tersebut diatas untuk membuat warga tidak lagi membuang hajat sembarangan adalah diciptakannya lagu, tarian, dan drama sanitasi. Salah satu contoh lagu sanitasi untuk anak-anak yang kalau diterjemahkan sebagai berikut; Jangan buang hajat di sembarang tempat, Kalau masih buang hajat sembarangan kita tidak akan main dengannya, Tidak ada seorangpun yang mau pergi bersamanya, Jika tidak berhenti buang hajat sembarangan kamu akan mendapat malu/aib, Dan akhirnya sholatmu (Namaz) tidak sempurna. Pada akhir kunjungan kami sempat disuguhi tarian sanitasi oleh anak-anak, walaupun sederhana dengan pakaian seadanya dan tabuhan panci aluminium menyaksikan tarian tersebut cukup terasa sakral, apalagi ditarikan oleh anak-anak warga desa minoritas namun dicintai oleh warga lainnya dan terlihat kehidupannya yang cukup harmonis bersama mereka.



Desa Idaman, dalam kesempatan berkumpul dengan warga desa yang terdiri dari anak sekolah, kaum lelaki, wanita, kades, fasilitator, tokoh masyarakat, dan ada voluntaire, kami dijelaskan bagaimana proses awal dimulainya gerakan anti dolbun tersebut, mula-mula masyarakat membahas semua permasalahan yang ada didesa, setelah disaring terdapat 4 masalah utama yaitu; sanitasi, kawin muda, pendidikan anak perempuan dan air bersih. Melihat kenyataan bahwa semua warga menganggap bahwa sanitasi adalah masalah paling utama maka dimulailah proses pembangunan wc yang melibatkan seluruh wakil masyarakat mulai dari kaum ibu, anak sekolah, lelaki dan diarahkan oleh fasilitator. Pada kesimpulan akhir digambarkan “desa idaman” warga, yang apabila kita cermati ternyata idaman mereka cukup sederhana yaitu; (1) semua rumah punya wc dan (2) semua anak perempuan bisa sekolah. Sekali lagi jangan membayangkan anak-anak sekolah seperti didesa kita yang sudah pakai sepatu, tas berisi buku tulis dan cetak dan berseragam bagus, disana masih dijumpai anak-anak sekolah telanjang kaki, dengan dandanan yang seadanya membawa buku yang kelihatannya lusuh.



Dari lapangan kami langsung kembali ke “markas” Plan Bangladesh dan dilanjutkan makan sore dengan menu kare ayam, goreng ikan mas, lado terong, sayur kol bumbu kuning, tidak ketinggalan dhal yang kental dan slad mentimun cs plus nasi putih, waduh perut nggak tahan lagi untuk segera santap…eunak eee. Setelah kenyang makan, ada acara evaluasi hasil kunjungan lapangan yang kita sampaikan semua tanpa basa-basi, demikian juga ganjelan pertanyaan kita dijawab dengan gamblang oleh mas Md. Liaquat Ali dkk, acara ditutup dengan minum teh dan buah, dan diluar bus telah menunggu kembali ke Rangpur untuk bermalam disana.



Pagi hari mruput (masih sedikit gelap) jam 6 tanpa sarapan, untung penulis sudah ngopi dan makan popmie masak dikamar sendiri (jangan lupa bila pergi jauh selalu bawa pemanas air spiral buat bikin kopi/teh dan rebus Popmie) rombongan menuju bus yang telah siap ngebut dengan klaksonnya (kebiasaan mobil disana minta diklakson sehingga dibelakang truk/bus ada tulisan “horn please”) menuju Dhaka, dengan catatan biar sampai Dhaka masih siang dan sempat shoping ceritanya. Siang hari rombongan telah sampai di Dhaka setelah mampir “brunch” (breakfest campur lunch) di Food Village di Bogra, langsung check ini di hotel yang sama dan bus langsung menuju ke Rifle Square (pusat belanja dikawasan tentara) ingat kata rifle-nya, rombongan penulis sempat makan enaak (alias ketemu nasi dan lauk) dan masih bisa nyruput ‘sop tom yang kung” (tanpa arsen he he he) dan langsung belanja sareeeeee, ayo pilih langsung bungkus.



Sorenya kami dijamu makan malam di Heritage Bangla Fusion Cuisin di Road 109, House 10, Guishan-2, Dhaka 1212 sambil bincang-bincang formal ala diplomat, heubat rek, setelah acara selesai langsung pulang kehotel sebagian teman-teman ringkes-ringkes (alias packing koper) besok paginya sempat raun-raun di Dhaka biasa cari oleh-oleh dan siap terbang ke Mumbai via Calcota. Ada pengalaman menarik pada bincang-bincang dengan mas Abdus Salam aktifis NGO Forum Water Supply and Sanitation, dia tanya besok naik pesawat apa, saya jawab naik Bangladesh Airline, komen nya he he he dijamin pasti telat,.. ue ladalah telaat tenan je, dan lewat perjuangan sengit bu Nila dibantu mas Devy (aduh kasihan betul ibu kita ini diprotes orang banyak demi membela rombongan) akhirnya bisa tukar pesawat Air India dan terbang ke Mumbay lewat Calcota. Tengah malam sampai di Mumbay langsung dijemput bus ke Taj Landsend Hotel, waduh rek kamare kinclong banget disuruh nginap seminggu pasti nggak nolak deh, pagi hari setelah ngurus barang rombongan sudah harus terbang ke Pune dan mas C. Ajith Kumar dari WSP India telah menunggu untuk mendampingi kita ke Ahmednagar district (alhamdulliah semua masih sehat walaupun acara perjalan nonstop dan baru setengahnya) .



Dari Pune dilanjutkan dengan bus tanpa ac yang diprotes bu Nila untuk ganti bus tapi berhubung yang ditunggu nggak datang-datang ya nggak pakai ac ya nggak apa-apa deh (wong kita-kita nggak ngeluh kok), dengan gaya nyopir yogya alon-alon waton kelakon menjelang sore rombongan sampai didesa pertama (Borban) acara kunjungan sampai maghrib berada disana, dan bus langsung cabut ke Ahmednagar dan nginap di Yash Palace Hotel, malam hari makan di roof top yang enak sekali karena selain menu Bangladesh seperti biasa karee lagi karee lagi ditambah ada abon, ikan asin, goreng kentang plus udang, kecap, sambel, tambo lai…sampai perut kekenyangan dan langsung guher (tidur pakai ngorok).



Paginya mengunjungi desa kedua (laporan rinci dibawah) dan sore hari dalam perjalan pulang ke Mumbay, berhubung acara ke Taj Mahal gagal rombongan dibawa ke Taj Mahal tiruan di Aurungabad dan terus langsung makan malam biasa menu aneka karee; ada ayam, sapi dan ikan serta tak ketinggalan “dal” buat saya pribadi eunaak tenan, namun ada beberapa teman yang komentar rasanya kayak jamu he he he di Aurungabad, teng jam 8 malam dengan menunpang Jet Air rombongan langsung dibawa ke Mumbay. Sampai di Mumbay sekitar jam 11 malam rombongan nginap di Hotel Taj Mahal yang barusan terjadi insiden penyanderaan itu lho beralamat di Apollo Bunder Mumbai 400 001 (masih satu grup dengan Taj Landsend Hotel) dan layaknya hotel berbintang 5 ya enak boss.



Besoknya ada acara bincang-bincang resmi dengan teman-teman India ya seperti biasa mereka presentasi dan dilanjutkan pak Basah presentasi “Sanimas”

dan setelah acara tanya jawab selesai rombongan sudah siap untuk tour Mumbay in half day, dan besoknya dengan dikawal mas Sanjay pegawai Departemen Air Minum dan Sanitasi setempat rombongan putar-putar di Mumbay ada yang belanja buku di Strand Bookstore cari buku kamasutra yang asli dan buku-buku lainnya yang murah-meriah, jangan lupa di Mumbai ada tempat belanja saree yang bagus dan murah di “lazaree, 364/A Bedekar Saden, NC Kelkar, DADAR Mumbai 28, dan jangan ketinggalan untuk tengok Linking Road Santa Cruz sambila cari pernik-pernik India, tengah malam akhirnya mengucapkan selamat tinggal India menuju ke Jakarta via Singapura, sebagian rombongan masih sempat jalan-jalan seharian di Singapore sambil melepaskan kangen makan nasi ayam “Hainan” di food court Orchard Road walaupun nunggunya cukup lama



Akhirnya terima kasih pada semua pihak yang telah memberikan kesempatan pada kami semua untuk menimba pengalaman di Bangladesh dan India yang sungguh menarik baik pengalaman sanitasi maupun spiritualnya, sampai jumpa dilain kesempatan.



SANITASI DI DESA BORBAN DAN WADGAON AMLI

DI AHMEDNAGAR DISTRICT, INDIA.



Taman Bunga Mawar, di desa Borban desa pertama yang kami kunjungi di India dalam wilayah Ahmednagar District, merupakan taman yang mempunyai arti tersendiri bagi warga desa tersebut, dimana sebelumnya di lokasi taman mawar merupakan tempat buang hajatnya warga desa khususnya pada saat pagi hari maupun sore menjelang gelap, namun sekarang setelah desa tersebut terbebas dari dolbun, dibekas lokasi tersebut dijadikan taman bunga mawar yang harum, dan didirikan papan peringatan bahwa desa tersebut telah terbebas dari dolbun dan semua rumah didesa telah memiliki wc tersendiri, bahkan pada acara kumpul bareng bersama warga kami diberi “tanda mata masing-masing setangkai bunga mawar, yang kami balas dengan nyanyian lagu cucakrowo buat memeriahkan suasana pertemuan.



Kenali desa sendiri, memasuki desa Wadgaon kami sedikit surprise; jalan desa mulus yang dibangun melalui 80 % dana pemerintah dan 20 % dana masyarakat, lingkungan yang bersih, rumah-rumah (189 buah) tertata rapih dan hampir semuanya terbuat dari tembok, terdapat balai pertemuan desa, ada TK (40 murid) dan SD (67 murid), desa ini dengan penduduk 1.199 jiwa (665 laki-laki dan 544 wanita) sebagian besar penduduk petani dengan beternak sapi (550 ekor) kambing (250 ekor) , harga sapi antara 15.000- 20.000 rupe sedangkan kambing antara 1500-2.000 rupe.



Desa ini sebelumnya mempunyai kondisi sanitasi yang sama dengan desa di Bangladesh, yaitu kebiasaan warga untuk buang hajat sembarangan, berbekal hasil workshop bulan Februari tahun 2002 di Bangladesh dimulailah program Total Sanitation khususnya di Ahmednagar district. Pada saat kunjungan pertama di desa seluruh warga laki-perempuan, tua-muda diajak jalan-jalan keliling desa, ternyata semua orang sambil jalan menutup hidungnya masing-masing akibat bau kotoran manusia yang tersebar dimana-mana, sang fasilitator berujar untuk tidak menutup hidung, dari situ dimulailah penyuluhan tentang pola hidup bersih dan sehat (ala PHBS). Suatu pelajaran berharga buat mereka untuk mengenali kondisi lingkungan desa mereka, dan biarkan mereka merasakan dan menilainya sendiri bagaimana “bau-nya” desa mereka akibat kebiasaan mereka sendiri yang buang hajat sembarangan dan ternyata tidak me-nyenag-kan mereka.



Pelibatkan murid, pembangunan wc komunal dimulai dari sekolah secara gotong royong, para murid dan orang tua mengangkut batu, pasir dan mencangkul secara bersama, jadilah wc sekolah, dimulailah pendidikan bersih lingkungan dari sekolah, disediakan sabun, kran air, didekat wc. Sebelumnya sering dikeluhkan oleh bu Guru bila sedang mengajar terpaksa menutup hidung akibat bau kotoran manusia yang menyengat. Setelah pembangunan wc sekolah dan kebiasaan bersih lingkungan mulai dirasakan manfaatnya oleh para murid, pada kenyataannya banyak murid yang dirumahnya tidak memiliki wc, sehingga mereka mengadu sambil menangis dan merengek untuk dibangunkan wc di rumahnya. Terpanggil-lah para orang tua untuk membangun wc dirumahnya.



Lomba Sanitasi, di India khususnya di Maharashtra terdapat dua program sektor sanitasi yaitu; The Total Sanitation Campaign dan Sant Gadge Baba Clean Village Sanitation (SGBCVS) diseluruh negara bagian. SGBCVS merupakan kampanye untuk mendidik dan memotivasi penduduk perdesaan. Semua desa berkesempatan untuk mendaftar mengikuti program ini dengan melakukan kegiatan spesifik yang dapat membuat desa mereka bersih. Desa yang mengikuti lomba kemudian dinilai oleh tim independen berdasarkan kriteria yang spesifik misalnya kondisi air bersih, jumlah toliet, inovasi, kepemilikan dan sebagainya. Tiga desa akan ditetapkan sebagai pemenang dan berhak mendapatkan hadiah, namun bukan hadiah yang menjadi tujuan utamanya, mereka harapkan reputasi dan kebanggaan bahwa desa mereka terpilih menjadi desa bersih, penghargaan ini mereka pajang di balai desa, dan penghargaan ini bisa dicabut apabila mereka tidak bisa menjaga prestasi mereka.



Semangat mandiri, mereka mempunyai misi bahwa tahun 2007 semua district (setingkat kabupaten) sudah bebas dari buang hajat sembarangan. Ini semua mereka wujudkan melalui “Hagandari Mukt Gaon” (Desa Bebas Buang Hajat Sembarangan) melalui Penyuluhan Sanitasi Total dengan membentuk kelembagaan masyarakat berdasarkan organisasi berbasis keberlanjutan, memaksimalkan peran semua pihak termasuk para jurnalis, yang berkeliling desa membuat tulisan-tulisan tentang sanitasi.



Mereka juga mempunyai pengalaman seperti kita dimana prasarana dan sarana (p/s) sanitasi yang dibangun Pemerintah dimasa lalu banyak yang tidak berfungsi (difungsikan oleh masyarakat), sehingga mereka merubah pola pendekatan pembangunan p/s sanitasi dengan total melibatkan seluruh pihak dan ternyata hasilnya lebih menggembirakan, mencoba mengajak masyarakat berpikir bahwa membiayai sanitasi lebih murah daripada biaya berobat kalau sakit akibat sanitasi yang buruk, suatu pelajaran semangat kemandirian yang begitu tinggi di tingkat masyarakat disana, hal inipun tercermin melalui harga bbm (bensin) yang per liternya sekitar 30 rupe (Rp. 6.000,-) artinya subsidi bbm tidak diberlakukan dan masyarakat dapat menerimanya. (bambang purwanto).

No comments:

Post a Comment